I. Pendahuluan.
Judul yang
penulis sampaikan ini merupakan makna yang dapat penulis tangkap dari topik
yang diberikan panitia, yaitu “Tinjauan Hakikat Hukuman, dan Teori Keadilan
serta Pemidanaan di dalam Pidana Islam dan Hukum Positif “.
Penekanan kepada pidana dan pemidanaan dalam hukum
pidana positif, disamping bidang yang diperdalam penulis lebih khusus pada
bidang hukum pidana positif, juga karena dalam penyajian saat ini panitia
sendiri telah memilih pembicara yang lebih kompeten untuk mengkaji bidang hukum
pidana Islam.
II. Peristilahan.
Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah
hukuman. Namun berkenaan dengan pembahasan saat ini penulis ingin memisahkan
pengertian dari kedua istilah tersebut.
Hukuman adalah suatu pengertian umum dan lebih luas,
yaitu sebagai suatu sanksi yang tidak mengenakan yang sengaja ditimpakan kepada
seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkenaan
dengan sanksi dalam hukum pidana. Walaupun ada juga persamaannya dengan
pengertian umum, yaitu sebagai suatu sanksi yang berupa tindakan yang menderitakan atau suatu nestapa[1].
Dalam bahasa Belanda kedua-duanya diberi istilah yang sama, yaitu “Straf”.
Menurut Prof. Moelyatno istilah “hukuman” atau “straf”
merupakan istilah konvensional. Istilah yang benar /inkonvensional untuk
menggantikan “Straf” adalah “Pidana”. Hal tersebut sesuai dengan istilah
“strafrecht” yang selama ini digunakan
sebagai terjemahan dari “Hukum pidana”. Dengan demikian, maka istilah
“pidana” merupakan istilah yang lebih khusus yang dipakai dalam hukum pidana.
Kekhususan lain dari istilah pidana termasuk dalam hal
bentuk atau jenis snksi/hukumannya, dimana sifat nestapa atau penderitaan lebih
menonjol bila dibandingkan dengan bentuk hukuman yang dimiliki oleh aspek hukum
lain. Bahkan para ahli hukum pidana ada yang mengatakan, bahwa
hukum pidana merupakan hukum sanksi istimewa. Dikatakan pula bahwa hukum pidana
merupakan sistem sanksi yang negatif. Yaitu suatu nestapa yang sifatnya
mencelakakan/menderitakan yang sudah tentu membuat si terpidana menjadi tidak
enak. Pidana tidak hanya tidak enak dirasakan pada waktu dijalani, tetapi
sesudah itu orang yang dikenai masih merasakan akibatnya yang berupa”cap” atau
“label” atau “stigma” dari masyarakat[2].
Atas dasar hal tersebut Alf Ross
mengatakan bahwa pidana itu bukan saja
tindakan yang bersifat menderitakan, melainkan merupakan pernyataan pencelaan terhadap si
pelaku [3].
Fakta yang menunjukan bahwa sanksi pidana bersifat
negatif dan menderitakan/nestapa, nampak jelas sebagaimana diatur dalam Pasal
10 KUHP.
Pasal 10 KUHP, berbunyi Pidana terdiri dari :
a. Pidana
Pokok : 1. Pidana mati;
2. pidana
penjara;
3. pidana
kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan
(terjemahan BPHN).
b. Pidana
tambahan : 1. pencabutan hak-hak
tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumunan putusan hakim.
Jenis pidana yang pada hakikatnya lebih bersifat
menderitakan tersebut, lebih nampak lagi mana kala kita teliti lebih jauh jenis
sanksi yang diancamkan pada tiap-tiap pasal dalam KUHP. Dari jenis-jenis tindak
pidana yang diatur dalam KUHP, 90 % diancam dengan sanksi pidana penjara. Lebih
celakanya lagi, walaupun dalam hukum pidana kita dianut stelsel pemidanaan yang
alternatif, namun hampir 99 % sanksi yang dijatuhkan hakim selalu sanksi pidana penjara.
Dalam perkembangan hukum pidana
modern, sanksi pidana bukan hanya berupa “Punishment”, melainkan dikenal pula
apa yang disebut dengan “Treatment” atau tindakan.
Istilah lain yang erat hubungannya
dengan masalah hukuman atau Pidana
adalah istilah “Pemidanaan”. Istilah pemidanaan merupakan pengertian yang
dipakai dalam hal pengenaan/penerapan pidana atau penjatuhan pidana.
Secara umum
masalah pemidanaan ini tidak menjadi suatu persoalan karena dalam
ketentuan-ketentuan KUHP sendiri telah dicantumkan secara tegas ancaman pidana
bagi masing-masing tindak pidana yang dilanggar. Ancaman pidana tersebut ada
yang bersifat tunggal, alternatif, dan kumulatif.
Namun demikian
menjadi persoalan (khususnya bagi Hakim) manakala berhadapan dengan terjadinya
suatu tindak pidana yang ternyata telah
melanggar beberapa ketentuan (Concursus).
Untuk
mengatasi hal tersebut dalam teori hukum pidana dikenal dengan istilah “Stelsel
pemidanaan”. Secara umum dalam KUHP dikenal dua jenis Stelsel pemidanaan, yaitu
“Stelsel Absorpsi” (Absorpsi Stelsel),
dan “Stelsel Kumulasi” (Cumulasi Stelsel).
III. Hakikat Pidana dan
Pemidanaan .
Mengkaji
masalah hakikat pidana dan pemidanaan, maka pembicaraan tertuju kepada masalah
tujuan dari dijatuhkannya sanksi pidana. Dalam KUHP sendiri sesungguhnya tidak
menyatakan secara tegas apa tujuan dari penjatuhan pidana tersebut. Tujuan
pidana hanya dapat kita temukan dari teori-teori yang dikemukakan para ahli.
Oleh karena itu maka teori-teori tujuan pidana erat sekali hubungannya dengan
perkembangan dari hukum pidana itu sendiri.
Dalam
hukum pidana dikenal adanya dua aliran/mazhab, yaitu Aliran Kalasik dan Alairan
Positif atau Modern.
Aliran Kalsik pada awalnya muncul pada
abad ke 18, merupakan reaksi terhadap masa ancien
regime yang berkembang di Prancis dan Inggris dimana telah menimbulkan rasa
ketidak pastian hukum dan ketidak
adilan.
Alian klasik terutama menghendaki
hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitik beratkan kepada
perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana.
Dalam hal pidana dan pemidanaan,
aliran ini pada awalnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis
dan ukuran pemidanaannya (definite
sentence).
Pada hakikatnya Aliran Klasik
menghendaki adanya suatu kepastian hukum, sehingga segala sesuatunya harus
dirumuskan dengan jelas dan pasti dalam suatu UU. Pada prinsipnya aliran ini
didasari oleh pemikiran bahwa manusia mempunyai kebebasan kehendak ( free will ).
Aliran Positif/Modern, muncul pada abad
ke 19 yang lebih memusatkan perhatiannya kepada si pembuat/pelaku tindak
pidana.
Aliran ini dikatakan modern karena
pendekatan yang dipakai dalam mencari causa kejahatan didasarkan kepada metode
ilmiah, dengan maksud untuk mendekati dan mempengaruhi pelaku secara positif
sejauh dapat diperbaiki. Aliran ini
beranggapan bahwa seseorang melakukan tindak pidana bukan didasarkan kepada
kehendak bebas yang dimiliki setiap orang, namun secara kongkrit dipengaruhi
oleh watak pribadi, faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatannya.
Atas dasar hal tersebut, maka orang
yang melakukan tindak pidana tidak patut untuk dipersalahkan dan dipidana
apalagi dilakukan pembalasan. Melainkan harus dilakukan suatu tindakan
perlindungan masyarakat. Apabila masih tetap digunakan istilah pidana, maka
pidana harus tetap berorientasi kepada sifat-sifat si pembuat (Individualisasi
pidana).
Khususnya mengenai hakikat pidana
dan pemidanaan, maka arah pembicaraan terfokus kepada dasar-dasar pembenaran
dan tujuan pidana. Secara tradisionil teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat
dibagi kedalam dua kelompok teori, yaitu:
1.
Teori Absolut atau teori
pembalasan (Retributive/vergeldings
theorieen);
2.
Teori Relatif atau teori Tujuan (Utilitarian/doeltheorieen).
Menurut teori absolut, pidana
dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan. Pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakaukan kejahatan. Dengan demikian dasar pembenar dari pidana terletak
pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut Johanes Andrenaes, tujuan
utama (primer) dari pidana menurut teori pembalasan adalah untuk memuaskan
tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh yang menguntungkan lebih bersifat
sekunder[4].
Dalam perkembangan selanjutnya
teori pembalasan klasik sudah tidak dianut lagi, dan bergeser kearah yang lebih
modern. Dimana pembalasan bukan lagi sebagai tujuan tersendiri, melainkan
sebagai pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan
pidana.
Menurut teori Relatif, memidana
bukkanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana lebih
ditujukan kepada perlindungan masyarakat serta mengurangi frekwensi kejahatan.
Dasar pembenar penjatuhan pidana
menurut teori ini terletak kepada tujuannya, yaitu supaya orang tidak melakukan
kejahatan/ mencegah kejahatan.
Tujuan pidana untuk mencegah
kejahatan ini dapat dibedakan antara istilan prevensi spesial dan prevensi
general atau special deterence dan general deterence.
Selain
dua teori klasik tersebut, dikenal juga suatu teori yang dsebut teori gabungan
(vereningings theorieen). Sebagaimana
nama teorinya yaitu gabungan, maka menurut teori ini pidana ditujukan bukan saja sebagai
pembalasan yang beratnya tidak boleh melampaui balasan yang adil, namun pidana
juga harus mempunyai pengaruh sebagai perbaikan sesuatu yang rusak dalam
masyarakat dan sebagai prevensi general.
Dari
teori-teori tersebut nampak bahwa tujuan dari dijatuhkannya pidana mengalami
suatu kemajuan kearah yang lebih rational dan manusiawi. Bahkan saat ini tujuan
pidana yang banyak dianut merupakan pengembangan dari tujuan pidana yang
ditujukan kepada perlindungan masyarakat (social
defence) sebagaimana yang dianut dalam teori relatif.
Secara umum tujuam pidana yang banyak dianut adalah berupa perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Bentuk-bentunya antara lain dapat
berupa:
a.
perlindungan masyarakat terhadap tindakan anti sosial,
maka tujuan pidana adalah penanggulangan kejahatan.
b.
Perlindungan masyarakat
terhadap sifat bahayanya si pelaku, maka tujuan pidana adalah upaya untuk
memperbaiki si pelaku.
c.
Perlindungan masyarakat
terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam mengunakan sanksi pidana, maka tujuan
pidana adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa maupun
warga masyarakat pada umumnya.
d.
Perlindungan dalam hal perlunya mempertahankan
keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu
oleh adanya kejahatan. Tujuam pidana
adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat [5].
Dalam perkembangan hukum pidana di
Indonesia, keempat konsep tujuan pidana dan pemidanaan tersebut dijadikan
sebagai landasan. Hal tersebut nampak dalam rumusan-rumusan yang tertuang dalam
Rancangan Konsep KUHP (RKUHP).
Menurut Pasal 51 RKUHP Pemidanaan
dimaksudkan untuk:
Ayat (1) a. mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakan norma hukum demim pengayoman masyarakat;
b.
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
c. memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; dan
d.
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Ayat (2) Pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia [6].
Selain
mengatur masalah tujuan pemidanaan, konsepun mengatur pula masalah pedoman
pemidanaan dilandasi oleh pemikiran individualisasi, yaitu pedoman bagi hakim
sebelum menjatuhkan putusan[7].
Dilihat dari jenis pidanananya itu
sendiri, perkembangan ke arah yang lebih rational dan manusiawi nampak pula
dalam RKUHP, dimana pidana meliputi:
Pidana
Pokok yang terdiri atas : a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e.
pidana kerja sosial.
Pidana
tambahan terdiri atas: a. pencabutan
hak-hak tertentu;
b. perampassan barang-barang tertentu dan atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat [8].
Walaupun ketentuan-ketentuan
tersebut baru berupa konsep, namun nampaknya masalah pidana dan pemidanaan
dalam hukum pidana kita menunjukan adanya suatu kemajuan yang cukup berarti.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana ide dan konsep-konsep tersebut dapat
dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu menegakan hukum demi
tercapainya rasa keadilan.
IV. Masalah Keadilan dalam
Hukum Pidana
Berkenaan dengan masalah pidana dan
pemidanaan yang merupakan salah satu soko guru dari hukum pidana, persoalan
keadilan merupakan sesuatu yang sangat penting. Kerapkali keadilan dan adil
ditemukan dalam naskah undang-undang. Namun pengertiannya memainkan peranan
operatif yang sangat besar. Pengertian tersebut digunakan sebagai
pengertian-pengertian hukum dalam memberikan dasar pada suatu
keputusan-keputusan hukum.
Dalam kontek pidana dan pemidanaan,
dimana didalamnya menyangkut persoalan pertanggungjawaban pidana (criminal liability/criminal responsibility).
Unsur pokok yang terkait didalamnya meliputi persoalan kemampuan bertanggung
jawab serta persoalan kesalahan yang ada pada diri pelaku tindak pidana.
Berkenaan dengan masalah
pertanggung jawaban pidana erat sekali hubungannya dengan masalah keadilan,
walaupun masalah keadilan sesungguhnya menyangkut soal filsafat. Dalam
penjatuhan pidana, adil tidaknya suatu putusan didasarkan pada sejauhmana hakim
mengkaji dan mempertimbangkan secara sunguh-sungguh masalah kemampuan
bertangungjawab serta kesalahan si pelaku.
Putusan hakim yang adil bukan saja
didasarkan atas keyakinan terhadap
bukti-bukti yuridis yang berhasil diungkapkan
Jaksa, melainkan perlu didukung pula oleh kemampuan yang tinggi serta
kepribadian yang baik yang dimiliki oleh seorang hakim (integritas dan
capabilitas hakim).
Lord Denning seorang hakim
terkemuka di Inggris mengemukakan bahwa keadilan sebagai sesuatu yang oleh
anggota masyarakat yang berbudi lurus, yaitu mereka yang mempunyai jiwa yang
tepat adalah pantas dan patut.
Dengan mengkaji apa yang
diungkapkan Lord Denning, nampak bahwa untuk memperoleh suatu keadilan masalah
kualitas dari orang yang memutuskan
sangat menentukan sekali.
Dalam hukum pidana, untuk
memperoleh suatu putusan yang adil memerlukan proses yang sangat panjang, yaitu
memalui proses beracara. Dalam proses tersebut hakikat yang hendak dicapai
adalah hendak menemukan kebenaran materiil, yang merupakan landasan dalam
penjatuhan sanksi pidana demi tercapainya rasa keadilan. Putusan yang adil
dapat diperoleh apabila ditangani oleh seorang hakim yang bukan saja mempunyai
integritas keilmuan yang tinggi, namun harus didasari pula oleh jiwa ahlakul
karimah.
Namun perlu pula kita sadari bahwa
di dunia ini tidak ada keadilan yang hakiki, melainkan lebih bersifat keadilan
yang relatif/nisbi. Begitu juga dalam hukum pidana sangat sulit sekali mengukur, apakah suatu
putusan adil atau tidak, apa tolak ukurnya, adil bagi siapa atau tidak adil
bagi yang mana ?
Walaupun hingga saat ini masih
menjadi persoalan, namun salah satu yang dapat dijadikan indikator dalam
penjatuhan pidana adalah masalah disparitas pidana ( disparity of sentencing [9]).
Masa yang akan datang setelah
norma-normanya diatur secara tegas dalam KUHP, diharapkan putusan hakim paling
tidak mendekati rasa keadilan baik bagi pelaku, korban, negara maupun
masyarakat.
V. Penutup.
Adanya upaya pembaharuan dalam
hukum pidana, khususnya menyangkut masalah pidana dan pemidanaan, yang kita
harapkan adalah bukan hanya pembaharuan atas dasar pemikiran yang rational
sebagai pengaruh dari perkembangan internasional, namun mampu juga mengakomodir
perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, diharapkan dapat tercapai
tujuan pidana dalam rangka menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia,
sehingg lebih jauh dapat memberikan perlindungan masyarakat (social defence) demi tercapainya
kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Daftar Pustaka
1. Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi.Pradnya
Paramita, 1985.
2.
Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif
Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Ananta, Semarang,
1994.
3.
Departemen Kehakiman RI. Konsep
Rancangan KUHP, 1997/1998.
4.
Muladi dan Barda Nawawi, Teori
-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1984.
5.
Muladi. Kapita Selekta Sistem
Peradilan Pidana, Badan Penerbit Univ. Diponegoro, 1995
6.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana.
Alumni, 1986.
7.
Tim Penerjemah BPHN Depkeh. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
· Dosen tetap pada Fak. Hukum
Unisba
[1]. Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi.Pradnya
Paramita, 1985.
[2]. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, 1986.
[3] . Muladi dan Barda Nawawi, Teori
-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1984.
[4]. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori
dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1984.
[5]. Barda Nawawi Arief. Kebijakan
Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Ananta,
Semarang, 1994.
[6]. Departemen Kehakiman RI. Konsep
Rancangan KUHP, 1997/1998.
[7]. Lihat makalah Edi Setiadi, SH., MH, pada Puskaji, Rabu, 8 Maret
2000.
[8]. Pasal. 65 dan 76 RKUHP.
[9]. Disparitas pidana diartikan sebagai penerapan pidana yang
berbeda-beda terhadap tindak pidana yang sama (the same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat
bahayanya dapat diperbandingkan (offences
of comparable seriousness) tanpa dasar yang jelas. Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Badan Penerbit Univ. Diponegoro, 1995.