Minggu, 25 Maret 2012

HAKIKAT PIDANA DAN PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA POSITIF


Oleh : Nandang Sambas·

I.     Pendahuluan.
Judul yang penulis sampaikan ini merupakan makna yang dapat penulis tangkap dari topik yang diberikan panitia, yaitu “Tinjauan Hakikat Hukuman, dan Teori Keadilan serta Pemidanaan di dalam Pidana Islam dan Hukum Positif “.
Penekanan kepada pidana dan pemidanaan dalam hukum pidana positif, disamping bidang yang diperdalam penulis lebih khusus pada bidang hukum pidana positif, juga karena dalam penyajian saat ini panitia sendiri telah memilih pembicara yang lebih kompeten untuk mengkaji bidang hukum pidana Islam.  

II. Peristilahan.
Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Namun berkenaan dengan pembahasan saat ini penulis ingin memisahkan pengertian dari kedua istilah tersebut.
Hukuman adalah suatu pengertian umum dan lebih luas, yaitu sebagai suatu sanksi yang tidak mengenakan yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkenaan dengan sanksi dalam hukum pidana. Walaupun ada juga persamaannya dengan pengertian umum, yaitu sebagai suatu sanksi yang berupa tindakan  yang menderitakan atau suatu nestapa[1]. Dalam bahasa Belanda kedua-duanya diberi istilah yang sama, yaitu “Straf”.
Menurut Prof. Moelyatno istilah “hukuman” atau “straf” merupakan istilah konvensional. Istilah yang benar /inkonvensional untuk menggantikan “Straf”  adalah  “Pidana”. Hal tersebut sesuai dengan istilah “strafrecht” yang selama ini digunakan   sebagai terjemahan dari “Hukum pidana”. Dengan demikian, maka istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus yang dipakai dalam hukum pidana.
Kekhususan lain dari istilah pidana termasuk dalam hal bentuk atau jenis snksi/hukumannya, dimana sifat nestapa atau penderitaan lebih menonjol bila dibandingkan dengan bentuk hukuman yang dimiliki oleh aspek hukum lain. Bahkan  para  ahli hukum pidana ada yang mengatakan, bahwa hukum pidana merupakan hukum sanksi istimewa. Dikatakan pula bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Yaitu suatu nestapa yang sifatnya mencelakakan/menderitakan yang sudah tentu membuat si terpidana menjadi tidak enak. Pidana tidak hanya tidak enak dirasakan pada waktu dijalani, tetapi sesudah itu orang yang dikenai masih merasakan akibatnya yang berupa”cap” atau “label” atau “stigma” dari masyarakat[2].
Atas dasar hal tersebut Alf Ross mengatakan bahwa pidana itu bukan saja  tindakan yang bersifat menderitakan, melainkan  merupakan pernyataan pencelaan terhadap si pelaku [3].
Fakta yang menunjukan bahwa sanksi pidana bersifat negatif dan menderitakan/nestapa, nampak jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP.
Pasal 10 KUHP, berbunyi  Pidana terdiri dari :
a. Pidana Pokok     :     1. Pidana mati;
               2. pidana penjara;
             3. pidana kurungan;
             4. pidana denda;
             5. pidana tutupan (terjemahan BPHN).
b. Pidana tambahan :   1. pencabutan hak-hak tertentu;
             2. perampasan barang-barang tertentu;
             3. pengumunan putusan hakim.

Jenis pidana yang pada hakikatnya lebih bersifat menderitakan tersebut, lebih nampak lagi mana kala kita teliti lebih jauh jenis sanksi yang diancamkan pada tiap-tiap pasal dalam KUHP. Dari jenis-jenis tindak pidana yang diatur dalam KUHP, 90 % diancam dengan sanksi pidana penjara. Lebih celakanya lagi, walaupun dalam hukum pidana kita dianut stelsel pemidanaan yang alternatif, namun hampir 99 % sanksi yang dijatuhkan hakim selalu sanksi  pidana penjara.
Dalam perkembangan hukum pidana modern, sanksi pidana bukan hanya berupa “Punishment”, melainkan dikenal pula apa yang disebut dengan “Treatment” atau tindakan.

Istilah lain yang erat hubungannya dengan masalah  hukuman atau Pidana adalah istilah “Pemidanaan”. Istilah pemidanaan merupakan pengertian yang dipakai dalam hal pengenaan/penerapan pidana atau  penjatuhan pidana.
Secara umum masalah pemidanaan ini tidak menjadi suatu persoalan karena dalam ketentuan-ketentuan KUHP sendiri telah dicantumkan secara tegas ancaman pidana bagi masing-masing tindak pidana yang dilanggar. Ancaman pidana tersebut ada yang bersifat tunggal, alternatif, dan kumulatif.
Namun demikian menjadi persoalan (khususnya bagi Hakim) manakala berhadapan dengan terjadinya suatu tindak pidana yang  ternyata telah melanggar beberapa ketentuan (Concursus).
Untuk mengatasi hal tersebut dalam teori hukum pidana dikenal dengan istilah “Stelsel pemidanaan”. Secara umum dalam KUHP dikenal dua jenis Stelsel pemidanaan, yaitu “Stelsel Absorpsi” (Absorpsi Stelsel), dan “Stelsel Kumulasi” (Cumulasi Stelsel).

III.   Hakikat Pidana dan Pemidanaan .
Mengkaji masalah hakikat pidana dan pemidanaan, maka pembicaraan tertuju kepada masalah tujuan dari dijatuhkannya sanksi pidana. Dalam KUHP sendiri sesungguhnya tidak menyatakan secara tegas apa tujuan dari penjatuhan pidana tersebut. Tujuan pidana hanya dapat kita temukan dari teori-teori yang dikemukakan para ahli. Oleh karena itu maka teori-teori tujuan pidana erat sekali hubungannya dengan perkembangan dari hukum pidana itu sendiri.
Dalam hukum pidana dikenal adanya dua aliran/mazhab, yaitu Aliran Kalasik dan Alairan Positif atau Modern.
Aliran Kalsik pada awalnya muncul pada abad ke 18, merupakan reaksi terhadap masa ancien regime yang berkembang di Prancis dan Inggris dimana telah menimbulkan rasa ketidak pastian hukum dan  ketidak adilan.
Alian klasik terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitik beratkan kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana.
Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran ini pada awalnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis dan ukuran pemidanaannya (definite sentence).
Pada hakikatnya Aliran Klasik menghendaki adanya suatu kepastian hukum, sehingga segala sesuatunya harus dirumuskan dengan jelas dan pasti dalam suatu UU. Pada prinsipnya aliran ini didasari oleh pemikiran bahwa manusia mempunyai kebebasan kehendak ( free will ).
Aliran Positif/Modern, muncul pada abad ke 19 yang lebih memusatkan perhatiannya kepada si pembuat/pelaku tindak pidana.
Aliran ini dikatakan modern karena pendekatan yang dipakai dalam mencari causa kejahatan didasarkan kepada metode ilmiah, dengan maksud untuk mendekati dan mempengaruhi pelaku secara positif sejauh dapat diperbaiki.  Aliran ini beranggapan bahwa seseorang melakukan tindak pidana bukan didasarkan kepada kehendak bebas yang dimiliki setiap orang, namun secara kongkrit dipengaruhi oleh watak pribadi, faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatannya.
Atas dasar hal tersebut, maka orang yang melakukan tindak pidana tidak patut untuk dipersalahkan dan dipidana apalagi dilakukan pembalasan. Melainkan harus dilakukan suatu tindakan perlindungan masyarakat. Apabila masih tetap digunakan istilah pidana, maka pidana harus tetap berorientasi kepada sifat-sifat si pembuat (Individualisasi pidana).
Khususnya mengenai hakikat pidana dan pemidanaan, maka arah pembicaraan terfokus kepada dasar-dasar pembenaran dan tujuan pidana. Secara tradisionil teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi kedalam dua kelompok teori, yaitu:
1.      Teori Absolut atau teori pembalasan (Retributive/vergeldings theorieen);
2.       Teori Relatif atau teori Tujuan (Utilitarian/doeltheorieen).
Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakaukan kejahatan. Dengan demikian dasar pembenar dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut Johanes Andrenaes, tujuan utama (primer) dari pidana menurut teori pembalasan adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh yang menguntungkan lebih bersifat sekunder[4].
Dalam perkembangan selanjutnya teori pembalasan klasik sudah tidak dianut lagi, dan bergeser kearah yang lebih modern. Dimana pembalasan bukan lagi sebagai tujuan tersendiri, melainkan sebagai pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana.
Menurut teori Relatif, memidana bukkanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana lebih ditujukan kepada perlindungan masyarakat serta mengurangi frekwensi kejahatan.
Dasar pembenar penjatuhan pidana menurut teori ini terletak kepada tujuannya, yaitu supaya orang tidak melakukan kejahatan/ mencegah kejahatan.
Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara istilan prevensi spesial dan prevensi general atau special deterence dan general deterence.
Selain dua teori klasik tersebut, dikenal juga suatu teori yang dsebut teori gabungan (vereningings theorieen). Sebagaimana nama teorinya yaitu gabungan, maka menurut teori ini  pidana ditujukan bukan saja sebagai pembalasan yang beratnya tidak boleh melampaui balasan yang adil, namun pidana juga harus mempunyai pengaruh sebagai perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan sebagai prevensi general.
Dari teori-teori tersebut nampak bahwa tujuan dari dijatuhkannya pidana mengalami suatu kemajuan kearah yang lebih rational dan manusiawi. Bahkan saat ini tujuan pidana yang banyak dianut merupakan pengembangan dari tujuan pidana yang ditujukan kepada perlindungan masyarakat (social defence) sebagaimana yang dianut dalam teori relatif.
Secara umum tujuam pidana yang  banyak dianut adalah berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Bentuk-bentunya antara lain dapat berupa:
a.         perlindungan  masyarakat terhadap tindakan anti sosial, maka tujuan pidana adalah penanggulangan kejahatan. 
b.        Perlindungan masyarakat terhadap sifat bahayanya si pelaku, maka tujuan pidana adalah upaya untuk memperbaiki si pelaku.
c.         Perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam mengunakan sanksi pidana, maka tujuan pidana adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya.
d.    Perlindungan dalam hal perlunya mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan. Tujuam pidana  adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat [5].
Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, keempat konsep tujuan pidana dan pemidanaan tersebut dijadikan sebagai landasan. Hal tersebut nampak dalam rumusan-rumusan yang tertuang dalam Rancangan Konsep KUHP (RKUHP).
Menurut Pasal 51 RKUHP Pemidanaan dimaksudkan untuk:
Ayat (1) a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demim pengayoman masyarakat;
b.  menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
c. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; dan
d.  membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Ayat (2)   Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia [6].
Selain mengatur masalah tujuan pemidanaan, konsepun mengatur pula masalah pedoman pemidanaan dilandasi oleh pemikiran individualisasi, yaitu pedoman bagi hakim sebelum menjatuhkan putusan[7].
Dilihat dari jenis pidanananya itu sendiri, perkembangan ke arah yang lebih rational dan manusiawi nampak pula dalam RKUHP, dimana pidana meliputi:
Pidana Pokok yang terdiri atas : a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
Pidana tambahan terdiri atas:      a. pencabutan hak-hak tertentu;
b. perampassan barang-barang tertentu dan atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat [8].

Walaupun ketentuan-ketentuan tersebut baru berupa konsep, namun nampaknya masalah pidana dan pemidanaan dalam hukum pidana kita menunjukan adanya suatu kemajuan yang cukup berarti. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana ide dan konsep-konsep tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu menegakan hukum demi tercapainya rasa keadilan.

IV.   Masalah Keadilan dalam Hukum Pidana
Berkenaan dengan masalah pidana dan pemidanaan yang merupakan salah satu soko guru dari hukum pidana, persoalan keadilan merupakan sesuatu yang sangat penting. Kerapkali keadilan dan adil ditemukan dalam naskah undang-undang. Namun pengertiannya memainkan peranan operatif yang sangat besar. Pengertian tersebut digunakan sebagai pengertian-pengertian hukum dalam memberikan dasar pada suatu keputusan-keputusan hukum.
Dalam kontek pidana dan pemidanaan, dimana didalamnya menyangkut persoalan pertanggungjawaban pidana (criminal liability/criminal responsibility). Unsur pokok yang terkait didalamnya meliputi persoalan kemampuan bertanggung jawab serta persoalan kesalahan yang ada pada diri pelaku tindak pidana.
Berkenaan dengan masalah pertanggung jawaban pidana erat sekali hubungannya dengan masalah keadilan, walaupun masalah keadilan sesungguhnya menyangkut soal filsafat. Dalam penjatuhan pidana, adil tidaknya suatu putusan didasarkan pada sejauhmana hakim mengkaji dan mempertimbangkan secara sunguh-sungguh masalah kemampuan bertangungjawab serta kesalahan si pelaku.
Putusan hakim yang adil bukan saja didasarkan atas keyakinan  terhadap bukti-bukti yuridis yang berhasil diungkapkan  Jaksa, melainkan perlu didukung pula oleh kemampuan yang tinggi serta kepribadian yang baik yang dimiliki oleh seorang hakim (integritas dan capabilitas hakim).
Lord Denning seorang hakim terkemuka di Inggris mengemukakan bahwa keadilan sebagai sesuatu yang oleh anggota masyarakat yang berbudi lurus, yaitu mereka yang mempunyai jiwa yang tepat adalah pantas dan patut.
Dengan mengkaji apa yang diungkapkan Lord Denning, nampak bahwa untuk memperoleh suatu keadilan masalah kualitas  dari orang yang memutuskan sangat menentukan sekali.
Dalam hukum pidana, untuk memperoleh suatu putusan yang adil memerlukan proses yang sangat panjang, yaitu memalui proses beracara. Dalam proses tersebut hakikat yang hendak dicapai adalah hendak menemukan kebenaran materiil, yang merupakan landasan dalam penjatuhan sanksi pidana demi tercapainya rasa keadilan. Putusan yang adil dapat diperoleh apabila ditangani oleh seorang hakim yang bukan saja mempunyai integritas keilmuan yang tinggi, namun harus didasari pula oleh jiwa ahlakul karimah.
Namun perlu pula kita sadari bahwa di dunia ini tidak ada keadilan yang hakiki, melainkan lebih bersifat keadilan yang relatif/nisbi. Begitu juga dalam hukum pidana  sangat sulit sekali mengukur, apakah suatu putusan adil atau tidak, apa tolak ukurnya, adil bagi siapa atau tidak adil bagi yang mana ?
Walaupun hingga saat ini masih menjadi persoalan, namun salah satu yang dapat dijadikan indikator dalam penjatuhan pidana adalah masalah disparitas pidana ( disparity of sentencing [9]).
Masa yang akan datang setelah norma-normanya diatur secara tegas dalam KUHP, diharapkan putusan hakim paling tidak mendekati rasa keadilan baik bagi pelaku, korban, negara maupun masyarakat.

V. Penutup.
Adanya upaya pembaharuan dalam hukum pidana, khususnya menyangkut masalah pidana dan pemidanaan, yang kita harapkan adalah bukan hanya pembaharuan atas dasar pemikiran yang rational sebagai pengaruh dari perkembangan internasional, namun mampu juga mengakomodir perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.   Dengan demikian, diharapkan dapat tercapai tujuan pidana dalam rangka menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingg lebih jauh dapat memberikan perlindungan masyarakat (social defence) demi tercapainya kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Daftar Pustaka

1. Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi.Pradnya Paramita,  1985.
2.  Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Ananta, Semarang, 1994.
3.   Departemen Kehakiman RI. Konsep Rancangan KUHP, 1997/1998.
4.   Muladi dan Barda Nawawi, Teori -Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1984.
5.   Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Univ. Diponegoro, 1995
6.   Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, 1986.
7.   Tim Penerjemah BPHN Depkeh. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).



·  Dosen tetap pada Fak. Hukum Unisba

[1].  Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi.Pradnya Paramita,  1985.
[2].  Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, 1986.
[3] . Muladi dan Barda Nawawi, Teori -Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1984.
[4]. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1984.
[5]. Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Ananta, Semarang, 1994.
[6]. Departemen Kehakiman RI. Konsep Rancangan KUHP, 1997/1998.
[7]. Lihat makalah Edi Setiadi, SH., MH, pada Puskaji, Rabu, 8 Maret 2000.
[8]. Pasal. 65 dan 76 RKUHP.
[9]. Disparitas pidana diartikan sebagai penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak pidana yang sama (the same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar yang jelas. Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Univ. Diponegoro, 1995.